Jumat, 11 Juni 2010

titin


Titin

Baru pulang dari luar kota tadi malam Aku agak malas untuk siap-siap ke kantor,
nanti agak siang saja Aku masuknya. Isteriku sudah berangkat, anakku semata wayang
sudah ke sekolah. Selesai sarapan yang disiapkan oleh Titin Aku belum juga mandi
tapi menikmati 3 hari koran yang belum sempat kubaca selama keluar kota di sofa ruang tamu. Santai. Hari menjelang siang.

Titin baru saja selesai mengepel lantai lalu ke belakang. Rasanya ada yang aneh pada Titin. Tiap hari dia memang mengepel lantai dan itu biasa. Entah apanya yang berbeda pada dia pagi ini Aku tak memperhatikan dan memang tak ingin tahu. Hanya kurasakan agak aneh saja. Kembali Aku membaca koran. Ketika terdengar suara guyuran air di kamar mandi belakang, juga masih biasa, Titin selesai bersih-bersih rumah lalu mandi.

Lalu setengah jam kemudian dia tampak sliweran antara dapur dan ruang makan juga biasa. Juga ketika masuk ke kamar anakku. Sekilas Aku sempat melihatnya lewat dari balik bentangan koranku. Mungkin ini yang tak biasa, dia tampak lebih rapi dari biasanya. Daster yang dia kenakan tampaknya baru. Mungkin dia mau keluar belanja, pikirku.

Dalam kesibukan dia di ruang makan kadang dia bikin suara-suara benturan piring dan alat lainnya. Dengan sendirinya Aku sedikit mengangkat kepala mengalihkan pandangan dari koran ke arahnya. Itu gerakan refleks yang biasa. Yang tak biasa adalah dia beberapa kali 'tertangkap' sedang memandang ke arahku tapi tatapan matanya agak ke bawah. Ketika dia sedang ke belakang Aku coba meneliti adakah yang aneh pada diriku ? Kebiasaan di rumah Aku selalu mengenakan celana pendek. Itu sudah sering dan Titin juga sudah tahu. Jadi apanya yang aneh. Ah, memang Aku peduli ? Aku terus saja membaca.

Sampai suatu saat sedang asyiknya Aku membaca tanpa kusadari Titin sudah berdiri di depanku. Koran kuletakkan, belum sempat Aku membuka mulut untuk nanya, tiba-tiba Titin menghambur ke arahku, duduk di pangkuanku dan memeluk tubuhku. Lalu kepalanya yang tersembunyi di dadaku terlihat sedikit berguncang. Titin menangis. Ada angin apa nih ?
"Maafkan saya Kang ..." katanya di sela-sela isakan tangisnya.

***

Titin memang bukan pembantu. Dia adalah sepupu isteriku, sama-sama dari Kuningan, asal isteriku. Dia cukup cerdas walau SMK saja tak tamat, karena keburu disuruh menikah oleh ibunya. Teman-temannya di kampung pada umumnya hanya tamatan SMP atau bahkan SD. Dia sebenarnya ingin sekolah sampai tingkat sarjana, hanya kebiasaan di kampung mengharuskan anak perempuan sudah berrumah-tangga ketika mencapai umur 16 atau 17 tahun. Malang baginya, ketika usia pernikahan menjelang setahun suaminya tertangkap basah berselingkuh. Dia minta cerai dan ingin ikut isteriku ke Jakarta sambil siapa tahu bisa meneruskan sekolahnya dan menggapai cita-citanya menjadi sarjana pertanian. Di kampung dulu dia memang amat dekat dengan isteriku.

Setelah bicara denganku, isteriku setuju menyekolahkan dia sampai tamat. Titin bersedia kerja apa saja, jadi pembantu sekalipun, untuk mengejar cita-citanya. Kami, saya, isteri dan anakku tak pernah menganggap dia sebagai pembantu. Kami perlakukan dia sebagai salah satu famili dekat. Sudah hampir dua bulan dia ikut dengan keluarga kami. Dia sudah terdaftar di SMK kelas tiga, hanya belum mulai sekolah karena menunggu tahun ajaran baru, bulan depan. Umurnya kini 18 tahun. Memang sedikit terlambat. Anak seusia dia umumnya sudah tamat SMU.

"Kenapa Tin?"
"Maafkan saya Kang...."
"Kamu salah apa"
Dia tak menjawab, masih terisak. Aku coba menduga-duga, mungkin dia tak betah karena mengerjakan urusan rumah tangga mirip pembantu.
"Kamu pengin pulang?"
Titing menggeleng. Sebenarnya tidak juga sebagai pembantu karena isteriku kalau sedang di rumah juga ikut terjun kerja bersama dia. Anakku pun begitu. Kami memang sudah biasa tak punya pembantu.
"Atau kamu gak betah di sini?"
"Bukan Kang .... bukan, saya senang tinggal sama Teteh..." Yang dia sebut teteh adalah isteriku.
"Jadi kenapa?"
Hening sejenak, lalu
"Sayanya Kang, saya yang tak beres..."
"Tak beres apanya, ayo cerita, jangan sungkan-sungkan. Kamu kan sudah kuanggap adikku sendiri"
"Bukan masalah itu Kang ... Akang sekeluarga di sini baik-baik semua ....saya betah..."
"Lalu ?"

***

Titin masih diam, tangisnya mereda. Tapi masih belum mau bicara. Tak sadar Aku mengelus-elus rambutnya yang lurus dan panjang sepunggung, seperti rambut isteriku. Memang Titin banyak kemiripan dengan isteriku. Wajah mirip, hanya isteriku langsat dia sawo matang. Bentuk tubuhnya sama langsing, hanya dada Titin sedikit lebih besar. Pembaca, jangan berpikiran macam-macam ya. dari 'tampak luar' saja sudah terlihat, tak harus 'memeriksa' ke dalam. Memangnya Aku sekurang ajar itu berani memeriksa dada sepupu isteriku ? Dada? Ah .... gumpalan daging kembarnya itu melekat erat di dadaku sekarang. Baru sekarang juga Aku menyadari bahwa bongkahan itu nempel di tubuhku nyaris tak ada penghalang. Tak ada 'kain keras' di antara kami. Masa sih ? Untuk memenuhi rasa penasaranku, tanganku yang sedang membelai rambut Titin 'mampir' sebentar ke punggungnya. Hanya kain daster saja yang ada dipunggungnya. Benar, Titin tak mengenakan bra ! Aku lebih banyak berpikiran positif. Mungkin saja tadi dia sehabis mandi belum sempat memakainya. Tapi menyadari 'keadaan' begini, sebagai lelaki normal tak urung ada yang menggeliat di balik celana pendekku.

Lalu, kubiarkan pikiranku mengelana, kubayangkan bentuk bungkahan yang menekan dadaku, tentunya masih kencang sebab dia belum punya anak dan belum setahun 'dipakai', dengan putingnya yang kecil dan kecoklatan. Imagi begini jelas saja membuat perangkat bawahku semakin mengencang. Tiba-tiba Titin mengangkat kepalanya yang dari tadi ngumpet di dadaku. Ditatapnya mataku sejenak, lalu pandangan beralih ke tubuhku bagian bawah dan kemudian menatapku lagi. Aku yakin pantatnya telah merasakan perubahan yang terjadi di celanaku.

"Kang ......."bisiknya serak. Pantatnya bergerak menggoyang, melumati kelaminku.
Mendadak mulutku dipagutnya. Aku masih shok atas tindakannya ini sehingga bibirku pasif saja menerima sapuan bibirnya. Tapi itu tak lama, hanya beberapa saat kemudian bibirku malah merespons lumatan bibirnya. Kami berciuman. Celakanya, entah bagaimana Aku jadi membayangkan bahwa yang sedang kuciumi ini adalah isteriku sehingga ciuman kami makin seru ....

Aku sempat melayang-layang sampai suatu saat kesadaranku mendarat kembali ke bumi, ratio mengalahkan emosi. Aku dorong kepala Titin menjauh, ciuman terlepas.
"Tin .... ?"
Kulihat ekspresi wajahnya yang kaget sekejap.
"Kang .... maafkan saya .... tapi saya butuh banget ..... butuh Kang .... udah lama banget menahan ...."
"Kamu sadar Tin ?"
"Iya Kang, sadar bahwa saya sangat membutuhkanmu Kang .... "
"Kenapa saya?" tanyaku lagi.
"Gak tahu Kang. Tubuhku ini udah lama membara .... Udah lama saya coba menahannya tapi saya gak mampu Kang .... tolong Akang mengerti ...."
Tanpa menunggu reaksiku Titin kembali menciumiku. Kami berpagutan lagi. Aku mulai menikmati. Kesadaranku berangsur menghilang.....

Kemudian, ini gerakan refleks yang wajar dan biasa ketika sambil berciuman telapak tangan kananku mulai meremas-remas buah dada kirinya yang hanya tertutup daster. Daging yang sekal sesuai bayanganku tadi. Titin melepas ciuman lalu mengerang sambil kepalanya mendongak menikmati remasanku. Bahkan erangannya mirip rintihan isteriku. Cuma sebentar, kembali dia mengejutkanku, dengan sigapnya dia melepas kancing-kancing dasternya lalu menyodorkan dadanya ke mukaku. Dua bulatan kembar itu kini terhidang di depan hidungku. Putingnya kecil tapi telah mengacung ke depan. Kuciumi buah dadanya, bergantian kanan dan kiri. Puting kecil itu memang keras.

Juga gerakan wajar jika tanganku kemudian mulai membelai-belai pahanya, menyusup ke balik dasternya, merambat sampai pangkalnya. Lagi-lagi Aku dibikin kaget. Hanya daster itulah satu-satunya pakaian yang melekat di tubuh sintal Titin. Aku tadi tak memperhatikannya. Selangkangan berbulu halus itu telah membasah dan lembab. Titin makin menggila ....
"Ayo Kang .... sekarang. Saya mohon ...."
Rangsanganku sudah tinggi, tak ada lagi pikiran jernih, gelap mata. Kubopong Titin menuju kamarku, kurebahkan tubuhnya ke kasur. Secepat kilat Titin melepas dasternya melalui kepalanya.

Tubuh coklat langsing sekel itu kini telanjang bulat tergolek di kasurku. Kedua belah dadanya memang bulat dan menonjol dihiasi puting dan lingkaran aerola yang kecil menambah keindahannya. Bulu-bulu halus di bawah perutnya terlihat rapi tanda terawat. Tubuh itu kini gelisah, bergerak-gerak tak tentu. Pahanya sudah membuka lebar. Tunggu apa lagi?

"Ayo...Kang ...."
Secepat kilat Aku memelorotkan celana pendekku sekaligus dalemannya. Aku naik ke tempat tidur dan mengarahkan penisku ke selangkangannya. Kebiasaanku kalo awal penetrasi lebih suka posisi misionarist, sebab Aku bisa melihat ekspresi wajah lawan mainku ketika penisku mulai menusuk. Wajah dengan mata terpejam dan kepala sedikit mendongak adalah pemandangan paling eksotis. Kurebahkan tubuhku menindihnya. Lalu dengan gerakan agak kasar Aku menekan. Muka Titin berkerut, dia menggigit bibirnya sendiri, ekspresi seperti orang yang sedang kesakitan. Benar saja ...
"Aaww .... pelan-pelan Kang, saya udah lama banget engga ....."
Memang, kepala penisku serasa membentur tembok walaupun Aku yakin dia telah lembab.
"Oh .... sorry Tin ..."

Lalu dengan sabarnya Aku perlahan membuat gerakan-gerakan pendek maju-mundur untuk membuka 'pintu' yang sudah lama tak pernah dimasuki. Memang agak susah, harus perlahan dan bertahap. Akhirnya seluruh batangku tertelan oleh vaginanya. Mulailah Aku 'memompa', masih perlahan agar bisa lebih merasakan gesekan batangku dengan dinding-dinding liang vaginanya. Milik Titin begitu eratnya menjepit batangku, persis seperti milik isteriku pada awal-awal kami menikah. Aku jadi teringat sewaktu berbulan madu dengan isteriku beberapa tahun lalu. Cerocohan ribut yang keluar dari mulut Titinpun sama. Beginilah rasanya. Hanya satu kata : nikmat !

Lalu Titin ? Sulit kugambarkan. Gerakan tubuhnya begitu liar, ekspresi wajahnya begitu ekstasi manjadikan dia tampak lebih cantik dibanding biasanya. Itu tanda bagi wanita yang sedang merasakan nikmatnya bersenggama. Rasanya Aku bisa lebih lama bertahan memompa, mungkin karena tadi malam Aku sudah mengeluarkan dua kali 'tabungan' ke tubuh isteriku setelah tersimpan selama 3 hari di luar kota.

Hingga suatu saat ....
Kedua tangannya mengunci amat erat di tubuhku dan tubuhnya kurasakan berguncang-guncang teratur beberapa kali. Aku lalu menghentikan pompaan, memberi kesempatan dia menikmati orgasmenya. Guncangan lalu melemah seiring melemahnya kuncian tangannya. Lalu tangannya rebah ke samping. Titin terkapar ....

***

"Terima kasih Kang .... terima kasih...."katanya sambil menciumi wajahku.
"Gimana Tin ...."
"Enak banget ....."
Tubuhku masih telungkup menindih tubuhnya, punyaku yang masih tegang masih 'tersimpan' di dalam tubuhnya. Aku masih tak bergerak walaupun Aku belum mencapai puncak. Sengaja untuk memberi waktu kepada Titin untuk menyelesaikan puncak hubungan seks, orgasme. Karena Aku tahu berdasarkan pengalaman, wanita tak mau 'diganggu' bila sedang dalam masa puncak dan beberapa waktu setelahnya.
Syaraf-syaraf pada alat kelaminnya menjadi amat sensitif ketika masa orgasme.

Tapi ketegangan penisku mulai mengendur karena masa pause begini. Aku harus mulai memompa lagi untuk meningkatkan ketegangan batangku. Lalu Aku mulai gerakan dengan memundurkan penisku sedikit dan menusuk lagi.
"Aaahhh ..... Kang..."erangnya.
Aku terus saja.
Memompa.
Mulutnya mulai berkicau.
Makin cepat.
Gerakannya makin gila.
Aku melambung
Melayang ....
Beberapa detik kemudian ....
Aku sampai.
Kutumpahkan semuanya ke dalam tubuhnya.
Ya. Aku ejakulasi di dalam tubuhnya. Tak terpikirkan lagi untuk mencabutnya. Karena kedua kaki Titin keburu menjepit erat pinggulku, dan lalu tubuhnya berguncang teratur seperti tadi.

Beberapa saat berlalu baru Aku menyadari akan akibat penumpahan ke dalam liangnya.
"Tin .... Aku keluar di dalam ...."
"Engga apa-apa Kang .... jangan khawatir"
"Maksudmu ?"
"Saya masih menyimpan spiral di dalam ...."
Aku lega walaupun di kepala ini menumpuk banyak pertanyaan seperti mengapa dia nekat begini ....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar